Judul buku : CineUs (baca: Sineas)
Genre: Fiksi, Novel, Teenlit
Penulis : Evi Sri Rezeki
Penerbit: NouraBooks
Cetakan Pertama: Agustus 2013
ISBN: 978-602-7816-56-5
Halaman: 280 +xvi
Membaca sekilas prolog novel ini memang sedikit membosankan. Datar. Belum nampak sebuah konflik yang mampu memaksa saya buat lanjut ke bab satu. Namun satu hal, novel ini unik sejak awal. Berbeda dari kebanyakan teenlit yang membahas klub-klub ekskul mainstream di SMA sejenis basket, marching band, cheerleaders, futsal, dan sejenisnya, novel ini dengan berani menyajikan liku-liku para pegiat klub film. Bayangkan, ada sineas-sineas muda di sebuah SMA di Bandung. Wow keren! Dan ini menarik bagu saya. Maka saya bersabar untuk terus melanjutkan membaca.
Di ujung prolog ternyata mulai ada kejutan. Mendirikan klub film tidak semudah yang dibayangkan. Lena, sang tokoh utama, siswa kelas XI, bersama dua sahabatnya, Dania dan Dion, sedang berjuang mendirikan klub film di sekolahnya. Repotnya klub ini sejak awal sudah bermasalah. Sementara pak Kandar, kepala sekolah baru, kurang merestui berdirinya Klub Film tersebut. Belum lagi sikap meremehkan dari teman-teman mereka yang menganggap klub ini enggak penting, ditambah review majalah sekolah yang menjatuhkan mereka. Klub Film Picisan, begitu opini yang disebar oleh majalah sekolah pimpinan Marisa itu.
Tidak hanya konflik eksternal saja yang memperkaya novel dengan alur cukup dinamis ini. Para anggota Klub Film (yang ternyata kurang diminati siswa dan hanya mampu menarik anggota baru 7 orang saja) juga memiliki konflik internal. Dion si O-on menyimpan konflik yang cukup pelik dengan ibunya (Ambu). Lena sendiri yang termasuk gadis tipe unik, dia ini keras kemauan, kadang bisa nyantai tapi kadang terkesan terlalu serius dan agak galak, juga terlibat hubungan pelik dengan Adit, mantannya ketika SMP. Hingga kini Adit masih menerornya, termasuk dengan taruhan yang membuat Lena ketar-ketir. Salah satunya juga tantangan Adit yang harus dihadapi Lena dengan ikutnya Klub Film tersebut dalam Festival Film Remaja. Ada Romi yang trouble maker. Dan ada Dania yang sabar dan bisa menjadi penyeimbang di antara mereka.
Konflik terus bertambah dengan munculnya sosok Rizki dan Ryan, dua anak jenius yang talenta perfilmannya luar biasa namun misterius itu. Sementara sosok Dion dan Ambunya juga menyita perhatian pembaca.
Terus…. tokohnya banyak amat ya?
Justru ini yang saya suka. Penulis yang berani mengambil jalur tokoh banyak dan konflik yang twisted seperti Evi ini pasti sudah faham betul bahwa dia memasuki jalur yang ‘berbahaya’ dalam menulis. Lalu berhasilkah Evi dalam karyanya ini?
Dengan senang hati saya katakan, Evi berhasil. Dengan banyaknya tokoh, tidak ada kesan srolah-olah para tokoh tersebut rebutan jadi tokoh utama. Tokoh utama tetap Lena dengan segala karakternya yang manusiawi. Tokoh-tokoh lainpun tetap penting dan berhasil menghidupkan diri mereka dengan watak masing-masing. Bahkan tokoh pendukung seperti Balia, si cowok feminin pun menjadi hiasan yang menarik.
Konflik yang twisted pun tidak membuat Evi kehilangan fokus untuk menyelesaikan potongan-potongan puzzle yang sejak awal cukup membutuhkan kecermatan. Meski agak lemah dalam penguraian konflik rumah tangga Ambu yang mengakibatkan karakter Dion menjadi ‘canggung’, namun di sisi lain Evi berhasil mengangkat sisi yang manis dari hubungan Lena dan Rizki.
Ending yang cukup manis menuntaskan misi dari novel ini. Seperti quote yang hangat ini:
Setinggi apapun impianmu, kamu hanya butuh percaya. Seperti aku mempercayai impianku. Sertakan orang-orang yang kau cintai dalam impianmu. Karena mereka adalah sumber kekuatan bagimu. (Hal. 280).
Novel ini akhirnya berhasil memotret sosok remaja-remaja unik yang memiliki impiannya dan passion-nya masing-masing. Sungguh sebuah inspirasi di tengah serbuan budaya instan yang begitu deras. Kelebihan lainnya, novel ini padat ilmu dan wawasan, terutama tentang serba-serbi pembuatan film indie dan online video web series. Apa tuh?
Tuh kan penasaran. Sama penasarannya dengan bagaimana ending hubungan Lena dan Rizki, apa dan bagaimana konflik Ambu dan Dion, dan… menang nggak sih Klub Film mereka di Festival Film Remaja? Jadi, saya sih merekomen buku ini sebagai layak dibaca. Bintang 3.5 di Goodreads deh.
Oh. Jangan lupa novel ini juga artistik lho. Sampulnya yang ada semacam flip-nya dan ilustrasi dalam yang cantik adalah buktinya.
Biar tambah seru, sebagai strategi pemasaran yang juga cantik, Evi melengkapi movelnya dengan trailer yang beneran kayak movie trailer gitu. Enggak kaku.
Saya sendiri menyimpulkan novel ini sebagai teenlit inspiratif yang melukiskan semangat dan nilai perjuangan meraih minpi. Bukan semata romance belaka. Salut buat Evi…. terus menulis yang menginspirasi yaaa.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Resensi Novel #CineUs
Genre: Fiksi, Novel, Teenlit
Penulis : Evi Sri Rezeki
Penerbit: NouraBooks
Cetakan Pertama: Agustus 2013
ISBN: 978-602-7816-56-5
Halaman: 280 +xvi
Membaca sekilas prolog novel ini memang sedikit membosankan. Datar. Belum nampak sebuah konflik yang mampu memaksa saya buat lanjut ke bab satu. Namun satu hal, novel ini unik sejak awal. Berbeda dari kebanyakan teenlit yang membahas klub-klub ekskul mainstream di SMA sejenis basket, marching band, cheerleaders, futsal, dan sejenisnya, novel ini dengan berani menyajikan liku-liku para pegiat klub film. Bayangkan, ada sineas-sineas muda di sebuah SMA di Bandung. Wow keren! Dan ini menarik bagu saya. Maka saya bersabar untuk terus melanjutkan membaca.
Di ujung prolog ternyata mulai ada kejutan. Mendirikan klub film tidak semudah yang dibayangkan. Lena, sang tokoh utama, siswa kelas XI, bersama dua sahabatnya, Dania dan Dion, sedang berjuang mendirikan klub film di sekolahnya. Repotnya klub ini sejak awal sudah bermasalah. Sementara pak Kandar, kepala sekolah baru, kurang merestui berdirinya Klub Film tersebut. Belum lagi sikap meremehkan dari teman-teman mereka yang menganggap klub ini enggak penting, ditambah review majalah sekolah yang menjatuhkan mereka. Klub Film Picisan, begitu opini yang disebar oleh majalah sekolah pimpinan Marisa itu.
Tidak hanya konflik eksternal saja yang memperkaya novel dengan alur cukup dinamis ini. Para anggota Klub Film (yang ternyata kurang diminati siswa dan hanya mampu menarik anggota baru 7 orang saja) juga memiliki konflik internal. Dion si O-on menyimpan konflik yang cukup pelik dengan ibunya (Ambu). Lena sendiri yang termasuk gadis tipe unik, dia ini keras kemauan, kadang bisa nyantai tapi kadang terkesan terlalu serius dan agak galak, juga terlibat hubungan pelik dengan Adit, mantannya ketika SMP. Hingga kini Adit masih menerornya, termasuk dengan taruhan yang membuat Lena ketar-ketir. Salah satunya juga tantangan Adit yang harus dihadapi Lena dengan ikutnya Klub Film tersebut dalam Festival Film Remaja. Ada Romi yang trouble maker. Dan ada Dania yang sabar dan bisa menjadi penyeimbang di antara mereka.
Konflik terus bertambah dengan munculnya sosok Rizki dan Ryan, dua anak jenius yang talenta perfilmannya luar biasa namun misterius itu. Sementara sosok Dion dan Ambunya juga menyita perhatian pembaca.
Terus…. tokohnya banyak amat ya?
Justru ini yang saya suka. Penulis yang berani mengambil jalur tokoh banyak dan konflik yang twisted seperti Evi ini pasti sudah faham betul bahwa dia memasuki jalur yang ‘berbahaya’ dalam menulis. Lalu berhasilkah Evi dalam karyanya ini?
Dengan senang hati saya katakan, Evi berhasil. Dengan banyaknya tokoh, tidak ada kesan srolah-olah para tokoh tersebut rebutan jadi tokoh utama. Tokoh utama tetap Lena dengan segala karakternya yang manusiawi. Tokoh-tokoh lainpun tetap penting dan berhasil menghidupkan diri mereka dengan watak masing-masing. Bahkan tokoh pendukung seperti Balia, si cowok feminin pun menjadi hiasan yang menarik.
Konflik yang twisted pun tidak membuat Evi kehilangan fokus untuk menyelesaikan potongan-potongan puzzle yang sejak awal cukup membutuhkan kecermatan. Meski agak lemah dalam penguraian konflik rumah tangga Ambu yang mengakibatkan karakter Dion menjadi ‘canggung’, namun di sisi lain Evi berhasil mengangkat sisi yang manis dari hubungan Lena dan Rizki.
Ending yang cukup manis menuntaskan misi dari novel ini. Seperti quote yang hangat ini:
Setinggi apapun impianmu, kamu hanya butuh percaya. Seperti aku mempercayai impianku. Sertakan orang-orang yang kau cintai dalam impianmu. Karena mereka adalah sumber kekuatan bagimu. (Hal. 280).
Novel ini akhirnya berhasil memotret sosok remaja-remaja unik yang memiliki impiannya dan passion-nya masing-masing. Sungguh sebuah inspirasi di tengah serbuan budaya instan yang begitu deras. Kelebihan lainnya, novel ini padat ilmu dan wawasan, terutama tentang serba-serbi pembuatan film indie dan online video web series. Apa tuh?
Tuh kan penasaran. Sama penasarannya dengan bagaimana ending hubungan Lena dan Rizki, apa dan bagaimana konflik Ambu dan Dion, dan… menang nggak sih Klub Film mereka di Festival Film Remaja? Jadi, saya sih merekomen buku ini sebagai layak dibaca. Bintang 3.5 di Goodreads deh.
Oh. Jangan lupa novel ini juga artistik lho. Sampulnya yang ada semacam flip-nya dan ilustrasi dalam yang cantik adalah buktinya.
Biar tambah seru, sebagai strategi pemasaran yang juga cantik, Evi melengkapi movelnya dengan trailer yang beneran kayak movie trailer gitu. Enggak kaku.
Saya sendiri menyimpulkan novel ini sebagai teenlit inspiratif yang melukiskan semangat dan nilai perjuangan meraih minpi. Bukan semata romance belaka. Salut buat Evi…. terus menulis yang menginspirasi yaaa.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Resensi Novel #CineUs